Kehidupanku Mengalir Seperti Air

 Lanjutan 

Nama saya Septiyowati, anak kedua dari 5 bersaudara. Saya dilahirkan di sebuah kota kecamatan yang lumayan ramai, karena masih menjadi jalur utama bus jurusan Purwokerto - Jakarta. Desanya bernama Ajibarang Wetan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Lahir pada hari Minggu Wage, tanggal 22 September 1974 bertepatan dengan 6 Ramadhan 1394. Saya dari dari seorang ibu yang bernama Munjiati, seorang wanita yang hanya lulusan SD tetapi sangat bersahaja dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Kegiatan sehari - hari ibu saya adalah berdagang di pasar dekat rumah membantu bapak saya yang juga seorang pedagang. Bapak saya bernama Slamet Muharjo, seorang  lelaki yang sangat kuat dan kekar, yang pantang menyerah dalam mencari nafkah. Membawa dagangan tanpa lelah dari satu desa ke desa yang lain.

Bapak sampai ke rumah mba dukun bayi yang bernama Mbah Awi ba'da isya. Mbah Awi rumahnya berada di desa sebelah yang bernama Pancasan. Jaraknya cukup jauh, bapak saya hanya berjalan kaki ke Desa Pancasan karena malam hari tidak ada angkutan umum.

Sampai di rumah Mbah Awi, bapak langsung mengutarakan maksudnya dan menerangkan kondisi ibu, Mbah Awi hanya manggut-manggut dan mengatakan bahwa kemungkinan tercepat ibu melahirkan sekitar jam 23.00. Untuk itu, bapak disuruh pulang dulu untuk menemani ibu di rumah. Mbah Awi berjanji untuk datang ke rumah bapak sebelum jam 23.00.

Tepat pukul 22.45, Mbah Awi menepati janjinya datang ke rumah dan langsung menuju kamar ibu. Mbah Awi langsung memeriksa keadaan ibu dan mengatakan bahwa kondisi ibu sudah baik, tinggal menunggu pembukaan sempurna untuk melahirkan.

Tepat hari Minggu Wage, tanggal 22 September 1974. Bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan 1394. Pada Jam 23.05 terdengar tangisan bayi memecah kesunyian malam.  Bapak yang menunggu di luar kamar sujud syukur atas kelahiran anak keduanya. Itulah detik-detik kelahiran saya yang menegangkan sekaligus menambah kebahagiaan keluarga. Bapak bergegas masuk ke kamar untuk memastikan kondisi ibu dan anaknya serta membantu Mbah Awi menyelesaikan pasca persalinan. Bapak mengucap syukur Alhamdulillah setelah mengetahui kondisi ibu dan bayinya.

Setengah jam kemudian, proses pasca persalinan selesai. Ibu sudah dibersihkan dan sudah ganti baju yang bersih, saya pun sudah bersih dan sudah dibalut kain Jarit untuk menghangatkan tubuh. Bapak menggendong tubuhku dan mengucapkan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri.

Mbah Awi langsung pamit malam itu juga dan berjanji untuk datang keesokan harinya untuk membantu memandikan bayi sekaligus merawat ibu pasca persalinan dengan cara memijit ibu selama 7 hari. Tak lupa Mbah Awi juga membawakan jamu khusus bersalin untuk menjaga kesehatan pasca persalinan. Bapak menyusupkan amplop yang berisi sejumlah uang ke tangan Mbah Awi sebagai tanda terima kasih telah dibantu. Mbah Awi pun mengucapkan terima kasih dan beranjak pulang.

21 hari kemudian, bapak dan ibu saya melakukan selamatan Puputan. Selamat Puputan merupakan selamatan  putusnya tali pusar. Sekaligus pemberian nama pada anak bayi. Bapak saya memberi nama  saya Riri Septiyowati. Ri berasal dari kata Jawa ro yang kepanjangan dari loro yang artinya dua. Septiyowati diambil dari bulan kelahiran bulan September. Wati artinya wanita. 22 September diartikan Riri Septiyowati. Riri Septiyowati artinya seorang wanita yang lahir pada 22 September.

Di masa balita, saya sering sakit - sakitan, kalau orang Jawa mengatakan jenggan yang artinya sering sakit - sakitan. Orang Jawa bagian banyumas percaya bahwa anak yang sering sakit - sakitan  tersebut  menanggung beban berat akibat namanya yang terlalu panjang. Oleh karena itu, ketika saya berumur 5 tahun, nama depan Riri dibuang dengan harapan bebannya menjadi enteng dan tubuhnya kembali sehat. Sampai saat ini nama saya jadi singkat Septiyowati saja. Di akta lahir maupun ijasah pun menggunakan nama Septiyowati.  

Nama panggilan saya Septi, tetapi juga ada yang memanggil hanya Sep saja. Teman - teman kecilku sering memanggil Sep, tapi terkadang menjadi Cep, karena keterusan akhirnya mereka memanggilku Ecep. Nama kecil yang jarang yang tau, kecuali teman- teman masa kecilku.

Lanjutan BAB 2 

Waktu itu, bapak ibu saya baru punya anak tiga yang semua perempuan. Saya adalah anak yang kedua. Saya, adik dan kakak yang rata - rata masih di sekolah dasar dititipkan di rumah kakek dan nenek yang kebetulan rumahnya tepat berada di depan rumah bapak ibu.

Pagi hari, sebelum berangkat ke pasar, ibu saya menanak nasi dan lauk seadanya. Saya, adik, dan kakak ditinggali uang masing-masing 15 rupiah untuk jajan dan membeli lauk pada siang hari. Namun demikian, kami diberi tugas masing-masing oleh ibu. Adik saya tugasnya menyapu rumah, saya sendiri mencuci piring, sedangkan kakak perempuan saya mencuci pakaian. 

Untuk urusan makan, kami biasa makan makanan yang sederhana sekali. Sudah ada nasi saja sudah bersyukur. Lauk tahu dan tempe merupakan barang mahal saat itu, apalagi makanan daging dan telur hanya bisa menunggu satu tahun sekali saat lebaran tiba. Setiap harinya, saya makan nasi dengan sayur seadanya tanpa lauk, cuma kadang - kadang ketambahan kerupuk. Sering ketika ibu tidak punya uang sama sekali, ibu saya menyuruh bapak untuk mengambil kelapa yang ada dibelakang rumah. Ibu memarut kelapanya dan menambahkan sedikit garam. Parutan kelapa dan garam dicampur ke nasi hangat. Enak sekali sarapan pagi itu, walaupun dengan lauk yang sangat sederhana.

Bapak dan ibu saya biasa berdagang sampai malam. Ketika kedua orang tua kami pulang, kami sudah tertidur di rumah nenek. Bapak dengan sabar mengangkat tubuh kami satu per satu untuk ditidurkan di rumah kami. Sebenarnya kami lebih senang tidur di rumah nenek yang lebih luas dan lebih hangat. Tetapi bapak dan ibu lebih tenang kami tidur di rumah.  Rumah kami sangat kecil, cuma mempunyai satu kamar dengan 2 ranjang besi, satu ranjang untuk kami bertiga, dan satu ranjang lagi untuk bapak ibu. 

Ketika saya kelas 6 SD, bapak saya pindah haluan dalam berdagang. Bapak saya memberanikan diri untuk menjual buah - buahan. Usahanya semakin berkembang, bapak saya melangkah lagi dengan membeli sendiri buah - buahan langsung dari petani. Saya sering diajak bapak ke desa - desa untuk memanen langsung buah - buahan. Saya petik buah jeruk yang sudah ranum dan matang. Saya berlari riang memetik buah jeruk yang bisa terjangkau tangan kecilku. Tidak terasa sudah berkarung-karung buah jeruk yang kami petik. Saat istirahat, bapak memilihkan buah jeruk yang paling besar dan paling matang. Bapak melemparkan buah jeruk yang paling besar ke arahku dan saya meraihnya dengan anggukan penuh kebahagiaan..saat pulang ke rumah, saya dan bapak menumpang truk yang telah disewa bapak. Usaha bapak berangsur-angsur berkembang, bapak mulai merenovasi rumah kecil kami, dinding bambu diganti tembok dan alas tanah diganti tehel ubin yang permanen.  Bapak pun berhasil membeli 2 kios buah di pasar untuk menampung buah hasil membeli dari desa - desa.

Sebagai bukti rasa syukur atas keberhasilan usahanya, bapak menyewa sebuah bus dan membawa semua keluarga besarnya untuk berwisata ke Pantai ayah, Gua Jati Jajar, Karang bolong dan sekitarnya. Kakek, nenek, bapak, ibu, saya, adik, kakak, pak Dhe, pak Lik, budhe, bulik, semua sepupu, keponakan ikut semua. Ramai sekali kala itu. Berwisata merupakan barang mahal saat itu, tidak mesti setiap tahun bisa berwisata.

B. Kejadian - Kejadian Masa Kecil Yang  Menyenangkan 

Meskipun orang tua saya sangat sibuk berdagang, tetapi masa kecil saya sangat bahagia. Masa kecil saya penuh petualangan. Saya sering melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan anak laki-laki. Kegiatan sehari-hari saya cuma berpindah dari dua tempat yaitu sungai dan sawah. Jangan ditanya rupa dan warna kulit saya waktu itu, hitam, gelap dan kurus kering badannya.

Dengan membawa seser ( jaring penangkap ikan), saya korek-korek setiap lubang yang ada di pinggir sungai. Bila  dapat ikan yang cukup besar, saya bersorak Sorai. Kartika b malas ber basah basahan, saya mengelilingi pinggir kolam ikan dan saya me jaring ikan dari pinggir kolam untuk mendapatkan anak ikan  yang gendut-gendut ( bahasa Banyumas ya ' jolong'). Apabila mendapatkan ikan yang besar, malah saya lepaskan, takut dimarahi kakek. Kakekku pernah berpesan untuk mengambil anak ikannya saja, karena tujuannya pasti untuk mainan saja.

Kegiatan saya di tanah persawahan tidak kalah menariknya. Ketika musim tanam, saya dan teman-teman asyik di pematang sawah milik kakek. Kami memperhatikan kerbau yang ditarik pedati. Tidak bosan-bosan kami melihat kerbau-kerbau itu. Kami sering mengikuti dibelakang kerbau-kerbau itu, kami tidak peduli tangan dan kaki kami terkena lumpur, bahkan saudara laki-laki saya minta naik ke atas pedati. 

Lanjutan 

Saya mengenyam pendidikan pertama kali di TK Pertiwi Ajibarang. TK Pertiwi Ajibarang terletak di Desa Ajibarang Wetan, jaraknya lumayan jauh dari rumah. TK Pertiwi Ajibarang mempunyai gedung yang bagus. Ruang kelasnya terang, berwarna warni dan permainannya lengkap sekali, dengan di dukung lapangan olahraga di belakang sekolah. Saya masih ingat guru yang mengajar TK waktu itu bernama Bu Guru Ipah. Beliau sangat baik dan sabar.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Festival Balon Udara Cappadocia Kearifan Lokal Wonosobo

RESUME PERTEMUAN KE 3 ( RAHASIA MUDAH MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU UNTUK BERPRESTASI)

KENANGAN MASA KECIL