Masa-masa Indah di SMA

  BAB IV 

Masa-masa Indah Di SMA 

Selepas dari SLTP, saya bingung sendiri, mau melanjutkan apa tidak, sebab kakak tertuaku hanya sekoah sebatas SMP. Tetapi apabila tidak meneruskan saya sayang dengan nilai yang telah diraih. Lumayan bagus, sayang kalau tidak meneruskan kata tetangga. Saya pun juga sayang, tetapi melihat kondisi ekonomi keluarga saya tidak tega mau melanjutkan sekolah ke SMA. 

Pada waktu yang bersamaan saya juga mendapat undangan untuk masuk ke SMA swasta yang ada di sekitar Kecamatan Ajibarang dan sekitarnya. Saya semakin galau. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengatakan keinginan saya kepada orang tua. Orang tua hanya menyetujui sembari berdoa semoga bisa membiayai. Tetapi pesen orang tua saya, saya hanya boleh sekolah di Kecamatan Ajibarang dan kalau bisa yang negeri biar biayanya ringan. Saya pun bersorak Sorai, mendengar jawaban orang tua saya. 

Apabila persyaratan sesuai dengan keinginan orang tua saya, maka saya hanya berkesempatan untuk sekolah di SMA N Ajibarang yang letaknya berada di selatan Ajibarang, tepatnya di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Sekitar 10 menit perjalanan dengan naik angkot atau bus.

Saya pun bergegas membuat janji dengan teman untuk mendaftar di SMA Negeri Ajibarang yang terkenal dengan SMA Pancur ( lokasi berada di Desa Pancurendang) dan SMA Kebon Budin ( belakang sekolah merupakan perkebunan pohon ketela/ Budin). SMA N Ajibarang termasuk sekolah yang asri, didepan kelas terdapat pepohan yang rimbun. Ada 2 lapangan yang biasanya digunakan untuk olahraga. Satu lapangan besar berada di depan sekolah berdampingan dengan gerbang dan jalan setapak yang cukup lebar untuk keluar masuk mobil. Lapangan satunya berada di depan kelas. Lapangan kecil yang dikelilingi oleh kelas.

Saya bersama teman-teman yang rata-rata alumni SLTP N 1 Ajibarang bersama-  sama mendaftar di hari pertama pendaftaran di SMA N Ajibarang.  Ternyata setelah kami di lokasi SMA, banyak sekali teman-teman dari SLTP N 1 Ajibarang yang juga mendadaftar diri di sana. Tetapi banyak juga teman-teman yang belum kami kenal.

Proses pendaftaran selesai, kami tidak langsung pulang tetapi keliling sekolahan untuk melihat kondisi sekolahan yang akan kami tempati. Pede sekali kami waktu itu, padahal belum tentu diterima. Tetapi kebanyakan siswa dari SLTP N 1 Ajibarang banyak yang diterima disini dan jarang sekali yang ditolak. Siswa-siswi yang pinter jebolan SLTP N 1 Ajibarang biasanya langsung mendaftar ke SMA favorit di Purwokerto, jadi kami yang mendaftar di SMA N Ajibarang tidak banyak saingan dan banyak kesempatan untuk diterima. 

Hari pengumuman pendaftaran pun tiba, saya tiba di SMA N Ajibarang lebih awal. Masih sepi sekali, tapi ada beberapa anak yang juga sudah berangkat untuk menunggu pengumuman. Pengumuman dilakukan di ruangan, setiap peserta menerima amplop masing-masing yang menandakan diterima tidaknya di SMA N Ajibarang. Perkiraan saya tidak meleset, saya diterima di SMA N Ajibarang, begitupun teman-teman alumni SLTP N 1 Ajibarang juga diterima semua.

Pembagian kelas pun dilakukan, saya masuk di kelas 1.2. Letak kelasnya tepat lurus dengan jalan masuk gerbang sekolah. Kelas yang paling dekat untuk dijangkau dibandingkan dengan lainnya. Berbaur dengan teman lainnya, saya belajar bersama di kelas 1.2 ini 

Saya masih ingat moment perkenalan di kelas 1.2 ini, pada suatu hari kami diberikan tugas untuk membawa pisang yang paling besar yang bisa ditemui. Saya yang sangat polos pun mematuhi perintah tersebut. Kebetulan budhe saya pedagang pisang di pasar Ajibarang. Jadi saya langsung ke pasar untuk memesan pisang yang paling besar.  Dan alhasil memperoleh pisang terbesar yang ada di pasar waktu itu. Sampai kelas pun, kami saling memamerkan pisang yang dibawa, ternyata benar, hanya pisang saya yang paling besar. Ternyata pencarian pisang yang paling besar ini sebagai bentuk tanggung jawab dan usaha kepada siswa untuk selalu mematuhi peraturan apapun bentuknya. Di acara perkenalan ternyata guru menyuruh anak yang membawa pisang terbesar dan paling kecil. Pisang yang terbesar tentunya punya saya dan pisang yang terkecil punya teman saya yang bernama Sarwono, dia anak Parakan yang juga termasuk temanku di SLTP N 1 Ajibarang tetapi beda kelas. Di akhir acara kami diberikan tugas untuk memakan pisang yang kami bawa, saya celingukan bingung, karena pisang yang saya bawa bukan pisang buah tetapi pisang yang biasa digoreng atau dikukus. Akhirnya saya memberanikan diri ijin untuk tidak menghabiskan pisangnya karena selain tidak enak dimakan juga pisang terlalu besar. Dimakan pun keras dan kurang manis.

Menjalani masa-masa SMA di kelas 1 tidak setegang ketika masa SLTP. Mungkin di SMA sudah banyak teman yang kenal dan sudah agak dewasa jadi lebih enjoy. Di kelas 1, saya masih tetap berprestasi, rangking 3 masih bisa diraih. 

Memasuki kelas 2, kami sudah mulai penjurusan, ada jurusan fisika, biologi dan sosial. Saya yang tidak suka pelajaran eksakta memilih jurusan sosial yang banyak hafalannya. Sebenarnya yang menjadi ketertarikan saya masuk jurusan sosial adalah karena ada mata pelajaran bahasa Perancis yang sangat asing bagi saya. Maka masuklah saya di kelas 2.A3.1.  2 adalah tingkatan kelas, A3 merupakan jurusan sosial, dan 1 merupakan jurusan sosial nomer 1. Di kelas sosial ini, semangat belajar saya mulai bersemangat, di kelas sosial ini tidak ada mata pelajaran yang memberatkan seperti kimia, fisika dan lain-lain. Itu semua membuat saya rajin belajar, karena tidak ada beban yang menghantui pikiran.  Di kelas 2 inilah akhirnya saya bisa mendapatkan rangking pertama. Betapa senangnya saya, yang notabene dari keluarga tidak mampu, bisa meraih juara 1. 

Ternyata perjuangan saya tidak sia-sia. Saya setiap hari dibebani oleh orang tua saya untuk mengasuh adik yang masih kecil. Ketika saya berangkat sekolah adik saya yang masih balita dititipkan bulik yang rumahnya dekat dengan rumah bapak ibu. Ketika saya pulang adik saya menjadi asuhannya saya, sampai ibu pulang dari pasar sore hari. Setiap pulang sekolah, saya hanya sempat sholat kemudian mengantar adik untuk menyusu ibu di pasar. Sampai-sampai para tukang ojek dan Abang becak heran dengan saya, sampai tanya ke saya, sebenarnya saya anak sekolah apa bukan, pagi pakai seragam, siang bawa anak. Mendengar itu saya hanya tertawa saja.

Ketika malam hari yang bisa saya lakukan adalah belajar sambil membuat rangkuman yang di kertas kecil yang bisa dibawa kemana-mana. Ketika siang hari sambil momong adik, saya buka catatan tadi malam dan dihafalkan. Itulah sedikit usaha yang biasa saya lakukan untuk bisa mengukir prestasi.

Kelas 2 dilalui dengan mulus tanpa halangan apapun. Mulai lah saya melanjutkan studi di kelas 3. Di kelas 3, saya lebih serius lagi. Pikir saya, saya dari keluarga tidak mampu, apabila tidak dengan bantuan beasiswa dan sejenisnya saya tidak mungkin melanjutkan kuliah. Di kelas 3 ini, saya sering bangun malam untuk belajar. Disaat semua tertidur lelap, saya bangun dan membuka buku untuk belajar. Perjuangan saya pun tidak sia-sia. Di kelas 3 saya masih tetap rangking pertama.

Di hari penerimaan ijasah, bapak saya menangis haru menyaksikan saya dapat piala sekaligus pohon tunas kelapa sebagai lambang keabadian. Saya mendapat rangking 1 dari gabungan 2 kelas sosial. Sepulang dari penerimaan ijasah, bapak saya langsung menanam pohon tunas kelapa di daerah kali umbul, di tanah pekarangan Simbah. Jarak kali umbul agak jauh sekitar 3 km dari rumah. Tetapi ayah saya semangat berjalan kaki untuk menanam pohon tunas kelapa tersebut.

Bahkan bapak ibu guru menawari saya untuk ibu program masuk perguruan tinggi melalui jalur pemilihan bibit unggul di IKIP Jogjakarta ( sekarang Universitas Negeri Yogyakarta / UNY ). Ada beberapa jurusan yang ditawarkan waktu itu yaitu jurusan olahraga, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Saya berpikir untuk mengambil bahasa Inggris saja yang sudah familiar dan kebetulan nilai bahasa Inggris saya juga bagus. Tetapi suatu hari saya dipanggil guru bahasa Prancis untuk menghadap. Ibu Widiarti namanya, sering dipanggil dengan Ibu Wid. Disini saya diberi pengarahan bahwa apabila saya mengambil bahasa Inggris, maka saingannya akan banyak sekali karena setiap sekolah SMA mempunyai mapel bahasa Inggris, sedangkan apabila mengambil jurusan bahasa Perancis akan sedikit saingannya, karena tidak semua SMA mempunyai mapel bahasa Perancis. Sampai disini saya paham, akhirnya saya putuskan untuk mengambil jurusan bahasa Perancis.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Festival Balon Udara Cappadocia Kearifan Lokal Wonosobo

RESUME PERTEMUAN KE 30

RESUME PERTEMUAN KE 7