Perintis kebaikan
Perjalanan hidupku dari masa kanak-kanak jauh sekali dari agama. Dari kecil kami dibiarkan tidak mengerjakan sholat, kalau pun mengerjakan sholat, itupun karena meniru teman yang kebetulan juga mengerjakan rame rame. Menjalankan puasa pun juga seenaknya sendiri. Siang hari apabila tidak kuat menahan lapar dan dahaga, dengan mudahnya kami berbuka, orangtuaku pun tidak marah, karena menganggap kami masih kecil. Hal itu membuat kami tidak ada semangat untuk melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh sungguh. Mengaji pun juga seperti itu, karena banyak teman yang ikut dan kebetulan tempat ngajinya juga dekat rumah, sehingga mau tidak mau ikut ngaji juga. Dan Alhamdulillah ngajinya berhasil membuat saya bisa membaca Al Qur'an.
Menginjak dewasa, saya masih ikut mengaji tetapi hanya mengaji tahlilan dan perjanjen saja, sama sekali tidak ada kajian sama sekali. Hal itu membuat saya jadi buta dengan ilmu-ilmu agama. Mendapatkan ilmu agama hanya sekali setahun saja, ketika ada pengajian Akbar, itupun dilaksanakan malam hari sampai tengah malam, kadang kami keburu mengantuk dan tidak mendapatkan ilmu agama sama sekali. Ditambah lagi saya sekolah, di sekolah umum yang hanya mendapat mata pelajaran agama hanya 2 jam selama 1 Minggu. Dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi ditempuh di sekolah umum.
Tibalah saat menikah dengan suami yang sebenarnya tetangga beda desa, tetapi sudah bekerja sebagai guru di sebuah desa nan sunyi tapi sangat asri dan nyaman, masyarakatnya pun agamis dengan pemandangan alam yang sangat menakjubkan, bagai mendapat syurga dunia, saya dan suami memulai kehidupan baru di tanah rantau ini. Desa Kejajar sebuah desa di lereng gunung Dieng yang sangat asri dengan penduduk yang super ramah dan agamis, hati kami damai dan tentram hidup di desa ini.
Awalnya kami menempati perumahan guru yang jauh dari penduduk desa, meskipun demikian, kami saling berinteraksi dengan penduduk desa ketika ada acara di desa. Acara kenduren yang sering dilakukan oleh warga desa, kami selalu mendapat undangan. Dan kami pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengenal lebih dalam penduduk sekitar.
Di pagi hari yang dingin, kami selalu dibangunkan oleh suara adzan yang bersaut sautan dari beberapa masjid diberbagai desa yang terdengar nyaring di telinga kami. Perayaan agama Islam pun sering sekali dirayakan dengan pengajian Akbar dengan mengundang dai- dai terkenal yang menghabiskan dana puluhan juta. Para pengunjung pengajian datang dari berbagai desa bahkan luar kota untuk sekedar mendengarkan pengajian dan silaturahmi dengan sanak saudara yang ketempatan pengajian Akbar tersebut. Suasana desa menjadi penuh sesak dan ramai, jalan-jalan menuju desa macet oleh banyaknya pengunjung pengajian, rumah-rumah penduduk desa juga penuh dengan makanan untuk menyambut tamu-tamu nya yang berasal dari luar desa atau kota. Hari itu di desa yang mengadakan pengajian Akbar ramai penuh sesak, ramainya melebihi idul Fitri dan idul adha. Dana yang dikeluarkan untuk menyediakan makan dan minum pun cukup banyak melebihi dana untuk menyambut idul Fitri, biasanya penduduk desa sudah menabung bertahun-tahun untuk mempersiapkan pengajian Akbar.
Belum genap setengah tahun, rumah dinas kami dipindah ke tengah-tengah desa. Waktu itu, saya mulai hamil anak pertama. Disinilah kami mulai mengenal tetangga, semua tetangga semuanya baik dan ramah, saya yang terbiasa hidup di kota, terbiasa cuek, sering diingatkan suami untuk menyapa tetangga yang kebetulan lewat. Di rumah ini, kami benar-benar hidup berumah tangga yang sebenarnya. Mendampingi dan mengurus segala keperluan suami.
Di rumah dinas ini, saya sering kesepian, tidak ada kegiatan yang berarti, hanya nonton tv dan kadang kala silaturahmi dengan tetangga sebelah sampai waktu maqrib. Suatu hari saya diperkenalkan dengan seorang kawan, Nur Zakiyah namanya, dia sering mengaji kajian sore hari. Suami saya meminta untuk mengajak saya mengaji Minggu depannya. Saya yang pemalu pun tidak kahabisan akal, saya ajak temanku, yang merupakan istri dari temannya suamiku.
Hari untuk mengaji pun tiba, MB Nur tidak lupa untuk menghampiri kami di rumah dinas. Dalam perjalanan Mba Nur cerita banyak tentang kegiatan mengajinya, ternyata kami mau mengaji di Nasyiatul Aisyiyah Ranting Kejajar Timur. Mba Nur bercerita bahwa Organisasi Muhammadiyah di cabang Kejajar mempunyai 5 ranting yaitu Ranting Kejajar Timur, Rantig Kejajar Tengah, Ranting Kejajar Barat, Ranting Tambi dam Ranting Tambi. Saya dan temanku, Mba Titin cuma manggut-manggut mendengarkan cerita Mba Nur.
Sampai di tempat pengajian masih sepi, hanya tuan rumah yang menyambut kedatangan kami. Rumah sederhana dengan tembok kayu yang sudah agak lapuk, menjadi tempat kajian mengaji saat ini. Saya ragu untuk melangkah masuk, karena di dalam gelap, Mba Nur mempersilahkan kami untuk masuk, dan kami pun masuk. Menit-menit berikutnya, teman-teman banyak yang datang, rata-rata mereka memakai hijab yang panjang hampir menyentuh kaki, bahkan ada yang bercadar. Saya minder melihat hal itu. Sedangkan saya dan temanku hanya memakai jilbab seadanya yang hanya menutupi bagian dada saja Saya berbisik ke temanku, gimana ini kita pakaiannya seperti ini. Temanku juga ikut galau. Mba Nur yang melihat gelagat kami berkata, tidak apa-apa, semua melalaui proses, santai saja, nanti juga ada temannya. Dan benar saja, masuk beberapa ukhti yang memakai jilbab tidak begitu besar. Kami pun tenang.
Tema pengajian hari itu adalah tentang pakaian muslimah.
Komentar
Posting Komentar